SLIDE

10/recent/ticker-posts

Islam di tanah Jawa

 

Kesultanan AgungGambar: Panji/bendera Kyai Tunggul Wulung yang merupakan bendera yang terbuat dari kiswah ka'bah hadiah dari Syarif Makkah sebagai wakil Khalifah Turki Utsmani kepada utusan Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, atau mungkin malah sudah dimulai di masa-masa sebelumnya, di seluruh Jawa dipromosikan semboyan "Jawa itu Islam, Islam itu Jawa" seperti halnya di tanah Melayu dan negeri-negeri muslim lain di Nusantara sebagai usaha mempersatukan orang Jawa dalam Islam dan mengislamkan Jawa. Apalagi salah satu pengertian kata "jawa" adalah adab, sesuatu yang identik dengan ajaran Islam.

Masa itu orang-orang Jawa yang tidak mau menerima Islam tidak dianggap sebagai orang Jawa. Makanya orang-orang Osing (ketika itu sebagian besar masih beragama Hindu-Buddha sebagai bekas Kerajaan Blambangan) dan orang-orang Tengger yang merupakan keturunan eks-simpatisan Girindrawardhana (adipati Daha/Kediri yang mengklaim sebagai raja Majapahit) secara kesukuan dan budaya dibedakan dengan orang Jawa pada umumnya.

Literasi-literasi Jawa yang dulunya sangat India-sentris perlahan mulai tampak Ottoman-sentris atau Turko-sentris dan dimasuki nilai-nilai Islam bahkan terjadi deindianisasi. Banyak serat dan babad yang ditulis dari kisah-kisah Islami seperti Serat Ambiya (baca: Ambiyo) yang ditulis berdasarkan kisah paman Nabi, Sayyidina Hamzah dalam karya sastra klasik Persia-Islam, Hamzanama, sama seperti Hikayat Amir Hamzah di tanah Melayu. Contoh deindianisasi dalam sastra Jawa adalah dengan menghubungkan silsilah dewa-dewa Hindu dan sesembahan Jawa pra-Islam sebagai keturunan Iblis.

Munculnya tokoh Sultan Ngerum dalam berbagai karya sastra adalah contoh lain Ottomanisasi dan Islamisasi Jawa. Yang dimaksud Sultan Ngerum ini adalah sultan Turki Utsmani (salah satu gelar sultan Turki sejak Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel adalah Kayser-i-Rum, Kaisar Romawi) yang dalam cerita-cerita disebutkan sebagai otoritas tertinggi agama Islam di masa itu dimana sultan-sultan di seluruh dunia menjadi perwakilan kekhalifahannya, tak terkecuali sultan-sultan Jawa yang menggunakan gelar Khalifatullah ing Tanah Jawi. Bahkan dalam babad dan serat ada kisah bahwa nenek moyang orang Jawa berasal dari tanah Rum (Anatolia) yang dikirim oleh Sultan Ngerum, tentunya ini hanya kisah fiksi semacam hikayat belaka tetapi menjadi bukti bahwa pada masa itu Jawa sangat bangga dengan Islam dan mengelu-elukan Khilafah Turki Utsmani sebagai pemegang otoritas tertinggi Islam saat itu.

Dalam Serat Jangka Jayabaya yang ditulis oleh R.Ng. Ranggawarsita dikisahkan bahwa Sang Ratu Adil akan datang dari negeri Rum atau Turki. Itu sebenarnya secara implisit adalah pengharapan bahwa kelak Turki Utsmani akan membantu rakyat Nusantara mengusir penjajah, harapan yang sama oleh rakyat Andalusia saat negerinya diambil alih kembali oleh Kristen, mereka juga berharap bahwa "Bangsa Turki yang agung" akan membebaskan mereka dari penjajahan kafir Kristen namun qadarullah harapan itu tak terwujud. Tokoh Ratu Adil ini juga yang kemudian dimanfaatkan oleh Raymond Westerling untuk propagandanya mengacaukan Indonesia yang baru merdeka dengan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil, karena kebetulan Westerling ini lahir di Istanbul, Turki dari pasangan orang tua Belanda-Yunani yang telah beberapa generasi tinggal di Turki.

Oleh karena khalifah Turki Utsmani memiliki otoritas tertinggi, para sultan di Jawa sangat taat kepadanya. Dalam berbagai riwayat sejarah termasuk yang diceritakan oleh da'i muda, Ustadz Salim A. Fillah bahwa Pangeran Mangkubumi (yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I) baru mau mengakhiri perang saudara dengan keponakannya (Sunan Pakubuwana III) ketika ngarsa dalem ditipu oleh VOC yang mendandani seorang pedagang Turki (atau Arab) yang baru datang dari negaranya sebagai seorang imam dan diplomat utusan sultan Ngerum (Turki Utsmani). VOC mendiktenya agar seolah-olah ia menerima mandat dari sultan Turki untuk memberikan hak-hak dan kewenangan kepada Pangeran Mangkubumi untuk menjadi sultan dan mendirikan negara secara independen, padahal itu hanya tipu muslihat VOC agar Pangeran Mangkubumi mau berdamai dan memecah Mataram menjadi dua agar mudah dikontrol. Karena para bangsawan Jawa sangat tunduk terhadap sultan Turki, sehingga ngarsa dalem mau berdamai dengan menerima hak sebagai raja independen bergelar Sultan Hamengkubuwana dan mendirikan negara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dalam record sejarah, VOC beberapa kali mencampuri urusan internal kraton-kraton Jawa dalam urusan agama, contohnya pada saat Sunan Pakubuwana IV yang terkenal saleh naik tahta dan mengangkat para ulama' dan haji sebagai penasihatnya. Kebijakan ngarsa dalem ini tidak disukai oleh VOC sehingga terjadi peristiwa Pakepung pada 1790 yang memaksa Sunan Pakubuwana IV untuk memecat para penasihatnya itu.

Kerusakan dan fitnah mulai membesar ketika kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda melalui Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda masuk lebih jauh mencampuri kebijakan internal kraton-kraton Jawa termasuk dalam hal keagamaan, hukum, dan suksesi, dimana syarat-syarat seorang putra mahkota dianggap layak adalah dia harus seorang santri (menguasai ilmu-ilmu agama) dan arya/harya/ksatria (menguasai ilmu-ilmu militer dan administrasi negara). Dalam penuturan Ustadz Salim A. Fillah, Pangeran Dipanegara sebagai wali (regent council) dari adiknya yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana IV mempersiapkan bertahun-tahun dengan mengajarinya mengaji puluhan kitab Islam klasik dan ilmu ketatanegaraan.

Kejenuhan terhadap ulah Belanda mencapai puncaknya dengan diinisasinya Perang Dipanegara pada 1825. Dalam narasi sejarah mainstream dikatakan bahwa Perang Dipanegara terjadi karena pemerintah Hindia Belanda menyerobot tanah pribadi milik keluarga nenek Pangeran Dipanegara, padahal itu hanya sebagai casus belli (alasan legal dan kuat untuk mendeklarasikan perang), alasan utama adalah kejenuhan para bangsawan Jawa terhadap ulah Belanda. Sebenarnya Pangeran Dipanegara sudah mempersiapkan perang ini sejak lima tahun sebelumnya dengan mulai perginya beliau dari kraton ke ndalem Puri Tegalreja, hanya saja belum menemukan momen yang tepat untuk melegalkannya. Pangeran Dipanegara bersekutu secara rahasia dengan Sunan Pakubuwana VI yang juga terkenal kesalehannya dan sebagai keturunan Sunan Pakubuwana IV yang punya dendam terhadap Belanda.

Pasca kekalahan Pangeran Dipanegara yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama', Belanda menganggap perlunya menekan peran santri dalam pemerintahan di Jawa karena Islam lah yang selama ini menghalangi kekuasaan mereka atas negeri-negeri di Nusantara serta menghalangi usaha Kristenisasi pribumi. Belanda ingin memisahkan antara institusi negara dengan agama (sekulerisasi) di Jawa. Maka dari sini lah dimulainya dikotomi priyayi dan santri. Secara de facto pesantren, institusi yang merupakan basis santri mulai terpisah dengan kraton, institusi basis bangsawan. Hal ini menjadikan pesantren menjadi teokrasi-teokrasi kecil semi-independen yang terus menentang penjajah baik secara fisik maupun pemikiran dan literasi sehingga selama puluhan tahun menjadi benteng terakhir agama dan bangsa untuk melawan penjajahan.

Menjelang kuarter kedua abad ke-19 Belanda melalui para orientalisnya mempelajari dan mengorek sejarah dan budaya pra-Islam. Ini adalah usaha untuk mengembalikan Jawa ke ajaran-ajaran lama pra-Islam sebagai perlawanan senyap Belanda terhadap keislaman di Jawa. Diantara produk pertama deislamisasi Jawa adalah buku pseudo-history Serat Babad Kadiri yang mulai ditulis kira-kira pada 1832. Yang mencengangkan menurut pernyataan budayawan, sejarawan, sekaligus Ketum Lesbumi NU, Dr. K.H. Agus Sunyoto, Serat Babad Kadhiri ini ditulis berdasarkan penuturan seseorang yang sedang kesurupan jin dengan disengaja untuk menggali sejarah dari makhluk halus yang dianggap mengerti sejarah kuno karena telah hidup ribuan tahun, yang kemudian oleh beliau disindir sebagai "sejarah versi jin". Serat Babad Kadhiri ini yang pertama kali memunculkan tokoh semi-fiktif Sabda Palon dan Naya Genggong yang menolak masuk Islam dan "katanya" akan kembali 500 tahun kemudian untuk menyebarkan kembali ajaran lama.

Produk-produk lain adalah Serat Darmagandhul dan Suluk Gatholoco yang ditulis kira-kira pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Serat Darmagandhul ini yang mendistorsi sejarah bahwa Raden Patah dari Demak yang menyerang dan meruntuhkan Majapahit di masa pemerintahan ayahandanya yaitu Prabu Brawijaya sehingga dianggap anak durhaka, padahal ini sangat ahistoris karena bertentangan dengan sumber-sumber sejarah semasa seperti prasasti Jiwu dan Petak bahkan semua versi Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 dan 18 yang semuanya membuktikan bahwa Majapahit runtuh karena kudeta oleh Girindrawardhana dari Daha/Kediri. Sementara Suluk Gatholoco berisikan dongeng-dongeng fiktif yang secara eksplisit menghina Islam dan simbol-simbol Islam.

Pada salah satu bab dalam Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah karya Hadhratussyaikh Hasyim Asy'ari disebutkan tentang beberapa aliran sesat di Jawa, salah satunya aliran kebatinan. Dijelaskan pula bahwa aliran-aliran sesat tersebut muncul atau datang di Jawa belum lama, ini selaras dengan fakta sejarah munculnya aliran kebatinan dan semacamnya yang baru muncul pada abad ke-19.

Efek dari deislamisasi ini ternyata sangat kuat terasa. Efek langsungnya adalah masuknya Kristenisasi melalui misi dan zending Kristen di Jawa, khususnya di perkotaan dan pedalaman. Efek lain adalah insecure-nya sebagian kaum priyayi terhadap Islam yang kemudian memilih kebatinan atau aliran kepercayaan daripada masuk Kristen, meskipun ada beberapa yang memeluk Kristen, kebanyakan karena pernikahan.

Hampir dua abad berlalu semenjak usaha deislamisasi Jawa oleh Belanda ternyata masih banyak agen-agennya melalui penganut kebatinan yang mempromosikan dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran untuk kembali ke ajaran Jawa pra-Islam dengan mengangkat dongeng-dongeng pada karya sastra pseudo-history yang dikarang oleh suruhan orientalis Belanda. Propaganda itu mereka bungkus dengan budaya khususnya budaya pra-Islam untuk membenturkan budaya Jawa dengan Islam dan seolah-olah orang Jawa muslim telah meninggalkan budayanya.

Padahal kebanyakan budaya Jawa, yang beberapa digunakan sebagai propaganda kaum kebatinan itu justru tanpa mereka sadari telah dimasuki unsur-unsur keislaman, seperti contohnya blangkon yang diadaptasi dari sorban/imamah yang dibuat lebih praktis. Pesantren yang merupakan institusi pendidikan Islam pun ikut serta melestarikan kosa kata Bahasa Jawa yang jarang dipakai pada percakapan sehari-hari pada pemaknaan kitab-kitab klasik Islam menggunakan Bahasa Jawa dengan aksara Pegon.

 

Posting Komentar

0 Komentar