Di masa pemerintahan
Sultan Agung Hanyakrakusuma, atau mungkin malah sudah dimulai di masa-masa
sebelumnya, di seluruh Jawa dipromosikan semboyan "Jawa itu Islam, Islam
itu Jawa" seperti halnya di tanah Melayu dan negeri-negeri muslim lain di
Nusantara sebagai usaha mempersatukan orang Jawa dalam Islam dan mengislamkan
Jawa. Apalagi salah satu pengertian kata "jawa" adalah adab, sesuatu
yang identik dengan ajaran Islam.
Masa itu orang-orang
Jawa yang tidak mau menerima Islam tidak dianggap sebagai orang Jawa. Makanya
orang-orang Osing (ketika itu sebagian besar masih beragama Hindu-Buddha
sebagai bekas Kerajaan Blambangan) dan orang-orang Tengger yang merupakan
keturunan eks-simpatisan Girindrawardhana (adipati Daha/Kediri yang mengklaim
sebagai raja Majapahit) secara kesukuan dan budaya dibedakan dengan orang Jawa
pada umumnya.
Literasi-literasi Jawa
yang dulunya sangat India-sentris perlahan mulai tampak Ottoman-sentris atau
Turko-sentris dan dimasuki nilai-nilai Islam bahkan terjadi deindianisasi.
Banyak serat dan babad yang ditulis dari kisah-kisah Islami seperti Serat
Ambiya (baca: Ambiyo) yang ditulis berdasarkan kisah paman Nabi, Sayyidina
Hamzah dalam karya sastra klasik Persia-Islam, Hamzanama, sama seperti Hikayat
Amir Hamzah di tanah Melayu. Contoh deindianisasi dalam sastra Jawa adalah
dengan menghubungkan silsilah dewa-dewa Hindu dan sesembahan Jawa pra-Islam
sebagai keturunan Iblis.
Munculnya tokoh Sultan
Ngerum dalam berbagai karya sastra adalah contoh lain Ottomanisasi dan
Islamisasi Jawa. Yang dimaksud Sultan Ngerum ini adalah sultan Turki Utsmani
(salah satu gelar sultan Turki sejak Sultan Mehmed II menaklukkan
Konstantinopel adalah Kayser-i-Rum, Kaisar Romawi) yang dalam cerita-cerita
disebutkan sebagai otoritas tertinggi agama Islam di masa itu dimana
sultan-sultan di seluruh dunia menjadi perwakilan kekhalifahannya, tak
terkecuali sultan-sultan Jawa yang menggunakan gelar Khalifatullah ing Tanah
Jawi. Bahkan dalam babad dan serat ada kisah bahwa nenek moyang orang Jawa
berasal dari tanah Rum (Anatolia) yang dikirim oleh Sultan Ngerum, tentunya ini
hanya kisah fiksi semacam hikayat belaka tetapi menjadi bukti bahwa pada masa
itu Jawa sangat bangga dengan Islam dan mengelu-elukan Khilafah Turki Utsmani
sebagai pemegang otoritas tertinggi Islam saat itu.
Dalam Serat Jangka
Jayabaya yang ditulis oleh R.Ng. Ranggawarsita dikisahkan bahwa Sang Ratu Adil
akan datang dari negeri Rum atau Turki. Itu sebenarnya secara implisit adalah
pengharapan bahwa kelak Turki Utsmani akan membantu rakyat Nusantara mengusir
penjajah, harapan yang sama oleh rakyat Andalusia saat negerinya diambil alih
kembali oleh Kristen, mereka juga berharap bahwa "Bangsa Turki yang
agung" akan membebaskan mereka dari penjajahan kafir Kristen namun
qadarullah harapan itu tak terwujud. Tokoh Ratu Adil ini juga yang kemudian
dimanfaatkan oleh Raymond Westerling untuk propagandanya mengacaukan Indonesia
yang baru merdeka dengan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil, karena kebetulan
Westerling ini lahir di Istanbul, Turki dari pasangan orang tua Belanda-Yunani
yang telah beberapa generasi tinggal di Turki.
Oleh karena khalifah
Turki Utsmani memiliki otoritas tertinggi, para sultan di Jawa sangat taat
kepadanya. Dalam berbagai riwayat sejarah termasuk yang diceritakan oleh da'i
muda, Ustadz Salim A. Fillah bahwa Pangeran Mangkubumi (yang kelak menjadi
Sultan Hamengkubuwana I) baru mau mengakhiri perang saudara dengan keponakannya
(Sunan Pakubuwana III) ketika ngarsa dalem ditipu oleh VOC yang mendandani
seorang pedagang Turki (atau Arab) yang baru datang dari negaranya sebagai
seorang imam dan diplomat utusan sultan Ngerum (Turki Utsmani). VOC mendiktenya
agar seolah-olah ia menerima mandat dari sultan Turki untuk memberikan hak-hak
dan kewenangan kepada Pangeran Mangkubumi untuk menjadi sultan dan mendirikan
negara secara independen, padahal itu hanya tipu muslihat VOC agar Pangeran
Mangkubumi mau berdamai dan memecah Mataram menjadi dua agar mudah dikontrol.
Karena para bangsawan Jawa sangat tunduk terhadap sultan Turki, sehingga ngarsa
dalem mau berdamai dengan menerima hak sebagai raja independen bergelar Sultan
Hamengkubuwana dan mendirikan negara Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam record sejarah,
VOC beberapa kali mencampuri urusan internal kraton-kraton Jawa dalam urusan
agama, contohnya pada saat Sunan Pakubuwana IV yang terkenal saleh naik tahta
dan mengangkat para ulama' dan haji sebagai penasihatnya. Kebijakan ngarsa
dalem ini tidak disukai oleh VOC sehingga terjadi peristiwa Pakepung pada 1790
yang memaksa Sunan Pakubuwana IV untuk memecat para penasihatnya itu.
Kerusakan dan fitnah
mulai membesar ketika kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda
melalui Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda masuk lebih jauh mencampuri
kebijakan internal kraton-kraton Jawa termasuk dalam hal keagamaan, hukum, dan
suksesi, dimana syarat-syarat seorang putra mahkota dianggap layak adalah dia
harus seorang santri (menguasai ilmu-ilmu agama) dan arya/harya/ksatria
(menguasai ilmu-ilmu militer dan administrasi negara). Dalam penuturan Ustadz
Salim A. Fillah, Pangeran Dipanegara sebagai wali (regent council) dari adiknya
yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana IV mempersiapkan bertahun-tahun dengan
mengajarinya mengaji puluhan kitab Islam klasik dan ilmu ketatanegaraan.
Kejenuhan terhadap ulah Belanda mencapai
puncaknya dengan diinisasinya Perang Dipanegara pada 1825. Dalam narasi sejarah
mainstream dikatakan bahwa Perang Dipanegara terjadi karena pemerintah Hindia
Belanda menyerobot tanah pribadi milik keluarga nenek Pangeran Dipanegara, padahal
itu hanya sebagai casus belli (alasan legal dan kuat untuk mendeklarasikan
perang), alasan utama adalah kejenuhan para bangsawan Jawa terhadap ulah
Belanda. Sebenarnya Pangeran Dipanegara sudah mempersiapkan perang ini sejak
lima tahun sebelumnya dengan mulai perginya beliau dari kraton ke ndalem Puri
Tegalreja, hanya saja belum menemukan momen yang tepat untuk melegalkannya.
Pangeran Dipanegara bersekutu secara rahasia dengan Sunan Pakubuwana VI yang
juga terkenal kesalehannya dan sebagai keturunan Sunan Pakubuwana IV yang punya
dendam terhadap Belanda.
Pasca kekalahan
Pangeran Dipanegara yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama', Belanda
menganggap perlunya menekan peran santri dalam pemerintahan di Jawa karena
Islam lah yang selama ini menghalangi kekuasaan mereka atas negeri-negeri di
Nusantara serta menghalangi usaha Kristenisasi pribumi. Belanda ingin
memisahkan antara institusi negara dengan agama (sekulerisasi) di Jawa. Maka
dari sini lah dimulainya dikotomi priyayi dan santri. Secara de facto
pesantren, institusi yang merupakan basis santri mulai terpisah dengan kraton,
institusi basis bangsawan. Hal ini menjadikan pesantren menjadi
teokrasi-teokrasi kecil semi-independen yang terus menentang penjajah baik
secara fisik maupun pemikiran dan literasi sehingga selama puluhan tahun
menjadi benteng terakhir agama dan bangsa untuk melawan penjajahan.
Menjelang kuarter
kedua abad ke-19 Belanda melalui para orientalisnya mempelajari dan mengorek
sejarah dan budaya pra-Islam. Ini adalah usaha untuk mengembalikan Jawa ke
ajaran-ajaran lama pra-Islam sebagai perlawanan senyap Belanda terhadap
keislaman di Jawa. Diantara produk pertama deislamisasi Jawa adalah buku
pseudo-history Serat Babad Kadiri yang mulai ditulis kira-kira pada 1832. Yang
mencengangkan menurut pernyataan budayawan, sejarawan, sekaligus Ketum Lesbumi
NU, Dr. K.H. Agus Sunyoto, Serat Babad Kadhiri ini ditulis berdasarkan
penuturan seseorang yang sedang kesurupan jin dengan disengaja untuk menggali
sejarah dari makhluk halus yang dianggap mengerti sejarah kuno karena telah
hidup ribuan tahun, yang kemudian oleh beliau disindir sebagai "sejarah
versi jin". Serat Babad Kadhiri ini yang pertama kali memunculkan tokoh
semi-fiktif Sabda Palon dan Naya Genggong yang menolak masuk Islam dan
"katanya" akan kembali 500 tahun kemudian untuk menyebarkan kembali
ajaran lama.
Produk-produk lain
adalah Serat Darmagandhul dan Suluk Gatholoco yang ditulis kira-kira pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Serat Darmagandhul ini yang mendistorsi sejarah
bahwa Raden Patah dari Demak yang menyerang dan meruntuhkan Majapahit di masa
pemerintahan ayahandanya yaitu Prabu Brawijaya sehingga dianggap anak durhaka,
padahal ini sangat ahistoris karena bertentangan dengan sumber-sumber sejarah
semasa seperti prasasti Jiwu dan Petak bahkan semua versi Babad Tanah Jawi yang
ditulis pada abad ke-17 dan 18 yang semuanya membuktikan bahwa Majapahit runtuh
karena kudeta oleh Girindrawardhana dari Daha/Kediri. Sementara Suluk Gatholoco
berisikan dongeng-dongeng fiktif yang secara eksplisit menghina Islam dan
simbol-simbol Islam.
Pada salah satu bab
dalam Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah karya Hadhratussyaikh Hasyim
Asy'ari disebutkan tentang beberapa aliran sesat di Jawa, salah satunya aliran
kebatinan. Dijelaskan pula bahwa aliran-aliran sesat tersebut muncul atau
datang di Jawa belum lama, ini selaras dengan fakta sejarah munculnya aliran
kebatinan dan semacamnya yang baru muncul pada abad ke-19.
Efek dari deislamisasi
ini ternyata sangat kuat terasa. Efek langsungnya adalah masuknya Kristenisasi
melalui misi dan zending Kristen di Jawa, khususnya di perkotaan dan pedalaman.
Efek lain adalah insecure-nya sebagian kaum priyayi terhadap Islam yang
kemudian memilih kebatinan atau aliran kepercayaan daripada masuk Kristen, meskipun
ada beberapa yang memeluk Kristen, kebanyakan karena pernikahan.
Hampir dua abad
berlalu semenjak usaha deislamisasi Jawa oleh Belanda ternyata masih banyak
agen-agennya melalui penganut kebatinan yang mempromosikan dan mempropagandakan
pemikiran-pemikiran untuk kembali ke ajaran Jawa pra-Islam dengan mengangkat
dongeng-dongeng pada karya sastra pseudo-history yang dikarang oleh suruhan
orientalis Belanda. Propaganda itu mereka bungkus dengan budaya khususnya
budaya pra-Islam untuk membenturkan budaya Jawa dengan Islam dan seolah-olah
orang Jawa muslim telah meninggalkan budayanya.
Padahal kebanyakan budaya Jawa, yang beberapa digunakan sebagai propaganda kaum kebatinan itu justru tanpa mereka sadari telah dimasuki unsur-unsur keislaman, seperti contohnya blangkon yang diadaptasi dari sorban/imamah yang dibuat lebih praktis. Pesantren yang merupakan institusi pendidikan Islam pun ikut serta melestarikan kosa kata Bahasa Jawa yang jarang dipakai pada percakapan sehari-hari pada pemaknaan kitab-kitab klasik Islam menggunakan Bahasa Jawa dengan aksara Pegon.
0 Komentar