TAN MALAKA : "Jenius Revolusi yang Dikhianati Sejarah"
Seorang pria berdiri di tengah kegelapan sejarah Indonesia. Ia bukan sekadar tokoh revolusi, tetapi seorang pemikir yang idenya mendahului zamannya. Namanya Tan Malaka—sosok yang pernah bermimpi tentang Indonesia merdeka jauh sebelum Proklamasi 1945. Namun, alih-alih dikenang sebagai pahlawan, ia justru dieksekusi oleh bangsanya sendiri.
Jenius yang Melawan Kolonialisme dengan Pemikiran
Tan Malaka lahir di Sumatera Barat pada 1897, dan sejak kecil, kecerdasannya sudah mencolok. Ia menjadi salah satu pribumi langka yang berhasil mendapatkan beasiswa ke Belanda. Di sana, ia tak hanya belajar, tapi juga memahami bagaimana kolonialisme menggerogoti bangsanya.
Di usia 26 tahun, Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia—buku yang secara berani menyerukan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, bahkan pemimpin seperti Soekarno dan Hatta belum lantang berbicara soal republik! Ia adalah pemikir revolusioner yang percaya bahwa kemerdekaan harus dicapai dengan kekuatan rakyat, bukan sekadar diplomasi.
Diburu, Dihianati, Tapi Tak Pernah Menyerah
Pemikirannya yang radikal membuatnya menjadi buronan Belanda. Ia hidup dalam pelarian, berpindah dari satu negara ke negara lain—Filipina, China, Thailand—namun perjuangannya tak pernah padam. Ia terus menulis, mengorganisir perlawanan, dan menanamkan semangat revolusi di mana pun ia berada.
Ketika Indonesia akhirnya merdeka pada 1945, Tan Malaka kembali. Namun, ia justru dianggap ancaman oleh pemerintahan yang baru berdiri. Visi revolusionernya bertentangan dengan strategi politik elit saat itu. Akhirnya, pada tahun 1949, di tengah situasi politik yang kacau, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi oleh tentara republik sendiri—tanpa pengadilan, tanpa kejelasan.
Pahlawan atau Korban Sejarah? Tan Malaka adalah sosok yang pikirannya jauh melampaui zamannya. Ia bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga seorang guru, filsuf, dan pemimpin yang tak pernah menyerah pada ideologi kebebasan. Namun, namanya nyaris terlupakan, terkubur oleh kepentingan politik yang tak ingin mengakuinya sebagai bagian dari sejarah.
0 Komentar