Serbuan Filipina
(Sulu) kepada Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara) yang mengakibatkan hancurnya
Ibukota kesultanan Kutai dan kemudian puing puing nya disebut dengan
"Kutai Lama". Komandan perang Sulu adalah Tan Prana Lela sedangkan
Sultan Kutai saat itu adalah Aji Aliyiddin.
Pada masa pemerintahan
Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752 M), Kerajaan Kutai Kartanegara hancur
diserang oleh perampok yang dikenal Lanun Sulu atau Bajak Sulu Kebuntalan dari
Filipina Selatan yang dipimpin Dato Tan Perana. Setelah itu, ibukota kerajaan
pun menjadi alas atau hutan yang kini menjadi sebuah kampung kecil bernama
Kutai Lama.
Legenda Sungai Kerbau Keramat
Sungai Mahakam memiliki banyak anak sungai,
salah satu nya adalah Sungai Kerbau yang mengalir melalui kota Samarinda,
Kalimantan Timur. Masyarakat setempat mengkeramatkan sungai karena sebuah
peristiwa aneh yang terjadi beratus-ratus tahun yang lalu.
Pada pertengahan abad
ke-13 Masehi, tersebutlah seorang raja bernama Aji Maharaja Sultan yang
bertahta di Kerajaan Kutai Kartanegara. Ia merupakan Sultan Kutai Kartanegara
ke-3 yang memerintah dari tahun 1360 hingga 1420 Masehi. Pada masa
pemerintahannya, Aji Maharaja Sultan mempunyai cita-cita tinggi yakni
menyatukan kerajaan-kerajaan di sekitar Mahakam seperti Kutai Martapura, Sri
Bangun, Sri Muntai, Tanjung, dan Bahau agar berada di bawah kekuasaan Kutai
Kartanegara. Cita-cita sang Sultan pun terkabul dan Kutai Kartanegara menjadi
kerajaan yang makmur dan sejahtera. Selain memiliki sumber daya alam yang
melimpah, kerajaan ini juga mendapat upeti (ufti) dari kerajaan-kerajaan
taklukan.
Suatu hari, Aji Maharaja Sultan bermaksud
memperindah kota kerajaannya. Ia juga ingin istananya dihiasi dengan ukiran
yang indah dan halus. Untuk itu, ia pun mengumpulkan para pembesar kerajaan
untuk membicarakan niat tersebut. Dalam sidang itu, Pangeran Mangkubumi
mengusulkan agar Baginda Aji Maharaja Sultan mendatangkan ahli pahat dari Jawa.
“Jika sekiranya Baginda tidak keberatan,
alangkah baiknya jika Baginda mendatangkan ahli pahat dari abdi dalem Raja
Jawa. Mereka sangat mahir mengukir istana,” usul Pangeran Mangkubumi.
“Hmmm… usulan yang bagus. Aku setuju usulan
itu,” kata Baginda Aji Maharaja, ”Kalau begitu, segera kirim utusan ke Jawa!”
Keesokan harinya,
beberapa utusan berangkat ke Tanah Jawa. Setiba di sana, para utusan itu
langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada Raja Jawa. Dengan senang
hati, Raja Jawa pun berkenan mengirimkan dua orang pemahat ulungnya ke Kerajaan
Kutai Kartanegara.
Setelah berhari-hari berlayar mengarungi
lautan luas, kedua pemahat yang kakak-beradik tersebut akhirnya tiba di
Kerajaan Kutai Kartanegara. Mereka pun disambut baik oleh Baginda Aji Maharaja.
“Selamat datang di kerajaan kami, wahai utusan
Raja Jawa,” sambut Baginda Aji Maharaja dengan ramah, “Saya dengar kalian amat
piawai mengukir kayu. Oleh karena itu, saya ingin semua ruang istana ini diukir
dengan bermacam-macam motif.”
“Ampun, Baginda. Kebetulan saja hamba dan adik
hamba memiliki sedikit keahlian memahat,” jawab salah seorang pemahat itu
dengan merendah, “Tapi, kalau boleh hamba tahu, motif apakah yang Baginda
inginkan?”
“Aku ingin seni ukir Kutai, Bahau, Kenyah, dan
Tunjung dipadukan dengan seni ukir Jawa,” pinta Baginda Aji Maharaja.
“Baiklah, Baginda. Permintaan Baginda segera kami
laksanakan,” kata pemahat.
Kedua pemahat kakak-beradik dari Jawa itu pun
mulai bekerja dengan giat. Dengan tangan terampil, satu per satu kayu-kayu
gelondongan yang telah disiapkan mereka pahat menjadi karya seni ukir yang
mengagumkan. Konon, kedua pemahat itu dibantu oleh kekuatan gaib sehingga dalam
waktu singkat seluruh pekerjaan dapat mereka selesaikan dengan baik. Kini,
istana Kutai Kartanegara telah dipenuhi oleh ukiran-ukiran kayu dari berbagai
macam motif.
Baginda Aji Maharaja amat terpesona dan
terkagum-kagum menyaksikan hasil kerja kedua pemahat itu. Sebagai ungkapan
terima kasih, sang Baginda pun menganugerahi mereka hadiah yang amat banyak.
Tidak hanya itu, ia juga mengizinkan mereka tinggal di dalam istana bersama
keluarga raja. Sebagai abdi dalem, kedua pemahat itu sangat tahu dan selalu
menjaga adat beraja dan tata krama istana. Baginda Aji Maharaja pun semakin
perhatian kepada mereka.
Rupanya sikap Baginda Aji Maharaja kepada
kedua pemahat tersebut dianggap berlebihan oleh para pejabat istana. Mereka pun
merasa iri dan dengki terhadap kedua pemahat dari Jawa tersebut. Oleh karena
itu, mereka berniat untuk menyingkirkan keduanya dari istana. Suatu malam,
mereka mengadakan rapat tertutup tanpa sepengetahuan sang Baginda.
“Alasan apa yang harus kita sampaikan kepada
Baginda untuk mengusir kedua pemahat keparat itu?” tanya salah seorang pejabat
istana.
Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab.
Mereka semua sedang berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah
tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pejabat istana lainnya angkat bicara.
“Aku tahu caranya!” kata pejabat itu.
“Apakah itu? Cepat katakan!” desak peserta
sidang lainnya.
“Kita fitnah kedua pemahat itu di hadapan
Baginda. Kita tuduh mereka melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap
dayang-dayang istana. Dengan begitu, Baginda pasti akan murka dan mengusir
mereka dari istana ini,’ ujar pejabat itu.
Seluruh peserta sidang menyetujui usulan
tersebut. Keesokan harinya, mereka pun segera menghadap Baginda Aji Maharaja
untuk mengatakan tuduhan mereka kepada kedua pemahat tersebut. Baginda pun
terpancing amarahnya dan kemudian memutuskan akan mengusir kedua pemahat
tersebut dari istana. Namun, para pejabat yang dirasuki rasa iri justru
mengusulkan hal lain.
“Ampun, Baginda! Jika kedua pemahat itu
dibiarkan hidup, mereka dapat bekerja pada raja lain untuk membuat ukiran yang
lebih indah dari istana ini,” ujar salah seorang pejabat istana.
Baginda Aji Maharaja terpengaruh. Hatinya amat
cemas jika kedua pemahat itu benar-benar melakukan hal tersebut karena ia tidak
suka disaingi oleh raja lain, apalagi raja bawahannya. Berkat kepiawaian para
pejabat istana menyampaikan kata-kata bujukan, akhirnya sang Baginda pun
terpengaruh dan mempercayai kata-kata mereka.
“Baiklah, kalau begitu. Aku perintahkan kalian
untuk segera menangkap dan menghukum mati kedua pemahat itu!” titah Baginda Aji
Maharaja.
Tanpa menunggu waktu, para pejabat istana pun
segera menangkap kedua pemahat itu. Keduanya diikat di sebuah tiang untuk
dihukum gantung. Ketika hukuman itu akan dilaksanakan, salah seorang dari
pemahat itu bisa meloloskan diri. Rupanya, ia memiliki ilmu sehingga dapat
menghilang dalam sekejap mata. Namun, malang bagi pemahat yang lainnya karena
ia akhirnya mati di tiang gantungan. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia
sempat mengucap kata-kata kepada Bagida Aji Maharaja dan para pejabatnya.
“Sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas,”
demikian pesan terakhir dari pemahat itu.
Menurut ahli ramal istana, maksud kata-kata
pesan pemahat di atas adalah bahwa pada pemerintahan raja ke-10, Kutai
Kartanegara akan hancur dan pada pemerintahan ke-11, ibukota kerajaan itu akan
menjadi alas atau hutan. Perkiraan ahli ramal tersebut ternyata benar. Pada
masa pemerintahan Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752 M), Kerajaan Kutai
Kartanegara hancur diserang oleh perampok yang dikenal Bajak Sulu Kebuntalan
dari Filipina Selatan yang dipimpin Dato Tan Perana. Setelah itu, ibukota
kerajaan pun menjadi alas atau hutan yang kini menjadi sebuah kampung kecil
bernama Kutai Lama.
Mayat si pemahat yang dihukum mati dibuang ke Sungai Kerbau. Ajaibnya, mayat itu tidak hanyut ke arah hilir mengikuti aliran sungai, melainkan hanyut ke arah hulu muara sungai dekat Kota Samarinda. Itulah sebabnya, Sungai Kerbau dianggap keramat. Oleh penduduk setempat, mayat si pemahat itu dibuatkan makam di tengah-tengah sungai. Hingga kini, makam itu dikeramatkan dan hampir setiap tahun dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai daerah.
Demikian cerita Sungai
Kerbau yang Keramat dari Kalimantan Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa seorang penguasa hendaknya lebih bijak menerima
laporan dari bawahannya. Laporan itu harus terlebih dahulu diselidiki
kebenarannya. Oleh karena kurang teliti dalam menerima laporan, Raja Aji
Maharaja Sultan telah menghilangkan nyawa seseorang yang justru telah berjasa
kepadanya. Selain itu, sifat iri dan dengki para pejabat istana merupakan sifat
tercela yang tidak boleh ditiru.
0 Komentar